Tuesday 18 August 2020

Maksimalkan waktu dan peran guru Agama di Sekolah

waktu belajar serta Peran guru agama Islam di SD, SMP, dan SMA/SMK harus di optimalkan. Mengingat tantangan ke depan yang semakin nampak tentang cara beragama di Masyarakat. waktu belajar serta Peran guru agama Islam di SD, SMP, dan SMA/SMK harus di optimalkan bahkan ditambahkan.

Mengingat tantangan ke depan yang semakin nampak tentang cara beragama di Masyarakat.alam memahami persoalan agama. Jika demikian maka yang terjadi mereka para remaja serta pemuda hanya terombang ambing dengan dominasi Media, kelompok, atau orang yang dikultuskan tanpa memiliki dasar dan filter mengapa mereka harus ikut serta emosi yang kebablasan menghadapi sesuatu yang berbeda dengan.

Ilmu agama yang didapat melalui guru-guru yang irsyad, guru yang memiliki sanad keilmuan yang jelas inilah yang akan menghantarkan para pemuda menjadi manusia yang siap menghadapai segala persoalan masyarakat dengan berbagai keragaman cara pandang dalam beragama. 

Mudah-mudahan ini dapat terwujud agar anak anak kita yang sedang menuntut ilmu di sekolah mendapatkan nutrisi keimanan melalui pembelajaran agama Islam yang efektif. 

 kang Didi NU di hati

Tuesday 28 April 2020

Seorang Anak usia 4 tahun bertanya "Kenapa harus ada corona"

Foto: Aksi Cegah Penyebaran Virus Corona di Stasiun - Foto ...

Pertanyaan ini muncul dari seorang anak berusia belum genap 5 tahun. Dini hari tadi anak kedua saya seperti biasa ikut bangun sahur dan makan bersama, setelah selesai makan dan santai entah kenapa tiba-tiba spontan muncul pertanyaan darinya ke Mamahnya,“mamah, kenapa sih harus ada corona?..”.

Sebuah pertanyan yang muncul mungkin karena walau masih anak-anak dia sudahh bisa merasakan perbedaan hidup normal seperti biasa dengan keadaan saat ini yang serba dibatasi dan cenderung di rumah saja, secara psikis pasti mereka terganggu karena besar atau kecil pola hidupnya berubah mengikuti orang dewasa atau ayah ibunya yaitu intinya lebih sering ada di rumah.

Kita kembali ke pertanyaan anaku tadi, pertanyaan “kenapa sih harus ada corona” tentunya ini adalah sebuah pertanyaan yang tidak simple atau sederhana untuk dijawab, terlebih yang bertanya adalah anak usia 4 tahunan yang melafalkan “corona” saja dia masih cadel lalu bagaimana cara memberikan penjelasan kepada anak usia tersebut. Ketika dijawab ternyata dia hanya ingin dijawab oleh mamahnya, akhirnya mamahnyalah yang panjang lebar menjelaskan dengan caranya agar anak tersebut bisa memahami alur atau cerita kenapa harus ada corona, namun apa yang dijawab hanyalah berupa narasi seperti dongeng namun menyentuh sisi-sisi operasional keberadaan corona tersebut.

Dari cerita santap sahur itulah saya terpikir untuk menuliskannya di blog saya ini sekaligus mencoba sedikit mengajak pembaca untuk bermuhasabah sekaligus mentadaburi surat Al-Baqarah ayat 155 tentang musibah. Kita semua mungkin sudah sering mendengar baik di televisi, khutbah-khutbah, atau di media online tentang makna surat ini. Saya sendiri sangat sering membaca dan mengulang ayat ini terlebih ketika mengaitkan musibah-musibah yang kerap muncul di negeri tercinta, dan kandungan dalam ayat ini sangat konferehensip untuk bagaimana kita bisa memaknai setiap musibah dengan bijaksana, bersabar, dan meyakini bahwa semua adalah sudah ada dalam suratan taqdir Allah Swt.

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”

Melihat ayat ini saja kita akan faham bahwa Allah Swt pasti akan memberikan kepada kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yaitu ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, buah-buahan dan bahkan kehilangan jiwa. Sebagaimana juga dijelaskan dalam surat Muhammad ayat 31 yanng artinya :

 (“Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kammu, dan agar kami menyatakan (baik buruk) hal ihwal.
QS.Muhammad : 31)

 Memang terkadang Allah Swt memberikan ujian atau cobaan  berupa kesenangan dan kebahagiaan dan pada kesempatan lain  Dia memberikan ujian berupa kesusahan, kesedihan seperti rasa takut dan kelaparan. Dalam surat Al-baqoroh ini Allah menjelaskan kepastian memberikan ujian kepada manusia, ujian-ujian tersebut diperjelas menjadi beberapa macam : Pertama, ujian ketakutan. Ibnu Abbas mengatakan maksud dari rasa takut disini adalah rasa takut oleh musuh dan kegoncangan saat di medan perang. Imam Syafi’i mengatakan maksudnya adalah  rasa takut kepada Allah ‘azza wajalla. Kedua, ujian kelaparan. Maksudnya adalah Allah memberikan ujian dengan rasa lapar yang luar biasa. Imam Syafii mengatakan ujian rasa lapar pasti akan Allah berikan kepada setiap mukmin saat bulan Romadhan, yakni saat mereka melaksanakan kewajiban ibadah puasa. Ketiga, ujian kekurangan harta. Maksudnya kurang harta disebabkan oleh sibuknya berperang memerangi orang kafir, sehingga membuat mereka sedikit memiliki kesempatan untuk berdagang dan bekerja.

Imam syafi’i mengatakan maksudnya adalah berkurangnya harta disebabkan kewajiban mengeluarkan zakat. Keempat, ujian kekurangan jiwa. Ibnu Abbas berkata, berkurangnya jiwa karena kematian baik di medan jihad ataupun karena pembunuhan. Sedangkan Imam Syafii berkata, berkurang jiwa karena kematian yang disebabkan penyakit. Kelima, ujian kekurangan buah-buahan. Ibnu katsir berkata, kurangnya buah-buahan diakibatkan kebun-kebun mereka tidak bisa produksi dengan baik sehingga banyak pohon-pohon yang mati dan tidak berbuah. 

Imam Syafi’i berpendapat bahwa maksud “buah” dalam ayat ini adalah anak, yakni buah hati. Artinya, akan ada ujian yang ditimpakan dengan meninggalnya buah hati mereka yang sangat mereka cintai. Ibnu Abbas mengatakan, maksud ayat ini adalah berkurangnya tumbuh-tumbuhan dan hilangnya kebarokahan.

Dan tidaklah Allah menimpakan semua ujian diatas , kecuali sebagai wasilah untuk membedakan kualitas hamba-hamaba-Nya. Dengan musibah-musibah ini manusia terbagi menjadi dua golongan : Pertama, orang  yang mampu menahan dirinya dari berkata dan berbuat yang menunjukan ketidak relaan akan takdir, maka dia itulah orang yang sabar, dan Allah akan memberikan balasan pahala atas kesabarannya, bahkan balasan yang Allah berikan lebih besar daripada ujian atau musibah yang ditimpakan kepadanya. Bahkan musibah akan berubah jadi anugrah baginya, karena musibah ini menjadi jalan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat baginya dengan melaksanakan perintah Allah untuk bersabar dan meraih pahala yang luar biasa atas kesabarannya. Kedua, orang yang berputus asa dalam menghadapi ujiannya, maka dia sesungguhnya mendapat dua musibah sekaligus dengan sikaf putus asanya ini. Musibah pertama adalah hilangnya sesuatu yang dicintai dari dirinya baik itu harta ataupun keluarga, dan musibah yang kedua adalah hilangnya sesuatu yang lebih besar dari musibah itu sendiri, yaitu hilangnya pahala kesabaran dalam menghadapi musibah. Maka hilanglah dari dirinya pahala dan dia mendapati kerugian, berkuranglah keimanan dan hilang rasa syukur kepada Allah

Melihat maksud dan makna dari ayat di atas, maka saat pandemic virus corono ini menjalar keseluruh Negara di dunia khususnya di negeri kita jelaslah jika ada pertannyaan “kenapa harus ada corona” maka kita bisa membuat kesimpulan jawaban yaitu, bahwa semua tidak lepas dari ketentuan-Nya, Allah Swt pasti menguji hamba-hamba-Nya baik dengan kesenangan atau kesedihan, Allah Swt ingin mengetahui seberapa sabar seorang hamba dalam menghadapi ujian yang diberikan-Nya, dan yang terpenting adalah jika kita bisa sabar dalam menghadapinya kita akan diberikan rahmat dan tergolong orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Dan mudah-mudahan wabah ini segera berakhir dan kita dapat kembali hidup normal seperti sedia kala.

Monday 27 April 2020

KEBAHAGIAAN ORANG YANG BERBUKA PUASA



"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Al-Baqarah-183)
Puasa merupakan rukun dalam Islam, diantara kewajiban terhadap orang yang telah berikrar menjadi pemeluk agama Islam adlah melaksanakan Puasa di Bulan Ramdhan. Di dalam alam rukun Islam yag telah diajarkan  puasa itu menempati urutan ketiga dari lima kewajiban umat muslim selama hidup di alam dunia. Yang diwajibkan dalam hal puasa ini adalah puasa ramadhan yang dilaksanakan setiap tahunnya selama sebulan penuh.
Yanng umumnya kita fahami bahwa puasa adalah suatu kegiatan untuk menahan lapar dan haus dan juga hawa nafsu dari mulai tetbitnya fajar sampai terbenam matahari. Jika kita sederhanakan puasa adalah ibadah yang dimulai saat adzan subuh usai berkumandang dan berakhir ketika saat masuk adzan magrib tiba atau dikumandangkan.
Bagi orang  yang berpuasa diantara nikmat menjalankan puasa pada bulan ramadhan adalah saat tibanya waktu berbuka. Kebahagiaan orang berpuasa salah satunya adalah dari hal ini. Selain bahagia karena akan segera makan juga karena didalamnya terdapat banyak keberkahan dari Allah Swt. Maka dari itu ada beberapa keutamaan dalam berbuka puasa
1. Keberkahan Bagi Orang yang Berpuasa
Keutamaan berbuka puasa yang pertama adalah merupakan sebuah bentuk keberkahan bagi mereka yang berpuasa. Anda bisa membayangkan bagaimana dengan mereka yang bahkan tidak mampu mendapatkam makanan dlaam seharu. Bagaimana rasanya menahan lapar dan haus selama satu hari. Kemudian bisa menyantap hidangan di ketika waktunya  sudah tiba. Pastinya merupakan keberkahan tersendiri.
2. Menyegerakan Untuk Segera Berbuka Puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya
Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)

Dalam hadits yang lain disebutkan,
 Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku (ajaranku) selama tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban 8/277 dan Ibnu Khuzaimah 3/275, sanad shahih). 

3. Membaca Do’a Sebelum Berbuka Puasa
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala (yaitu membaca ‘bismillah’). Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.” (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858, hasan shahih)

4. Menyantap Hidangan yang Ringan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.” (HR. Abu Daud no. 2356 dan Ahmad 3/164, hasan shahih)

5. Membaca Basmallah
Dari Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
 Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?” Beliau bersabda: “Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri.” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda: “Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya.” (HR. Abu Daud no. 3764, hasan).

6. Do’a Tidak akan Ditolak
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzholimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396, shahih). Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 194).

7. Berbagi Hidangan Berbuka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, hasan shahih)

8. Mendekatkan Ridha Allah
Keutamaan berbuka puasa yang selanjutnya adalah mampu mendekatkan manusia pada ridha Allah Swt. Dimana berbuka merupakan salah satu syarat sah puasa ramadhan. Sehingga tanpa melakukam hal ini dengan benar maka esensi serta substansi ibadah puasa kita akan berkurang. Tentunya hal ini dapat mempengaruhi ridha Allah Swt pada umatnya.
9. Kebahagiaan bagi yang Puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berbuka puasa mempunyai dua kebahagiaan yang bisa ia rasakan; kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya karena puasa yang dilakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

10. Saat menunggu Waktu Berbuka dengan Melakukan sesuatu yang Bermanfaat
Dari saat selesai sahur hingga waktu berbuka tentu saja terdapat waktu yang bisa anda gunakan dan manfaatkan dengan baik . Dimana waktu-waktu ketika menunggu waktu berbuka dapat anda manfaatkan untuk melakukan hal yang bisa mendatangkan pahala. Misalnya dengan membaca Al-Qur’an, tadarusan atau juga menyipkan hidangan berbuka puasa. Pastinya hal ini akan menyempurnakan ibadah dan buka puasa anda.
11. Jangan Makan Dan Minum dengan Berlebihan 
Berbuka puasa dalam islam diajarkan untuk tidak dilakukan secara berlebihan seperti. Secukupnyanya saja dan tak perlu juga bermewah mewah. Justru esensi bulan ramadhan adalah untuk mengajarkan kita kepada keseserhanaan. Jadi jangan sampai obadah puasa anda hanya mendpatkan lapar dan haus saja tanpa mendatangkan pahala karena kesukaan anda berlebihan dalam berbuka.
12. Tetap memperhatikan Adab Makan
Keutamaan berbuka puasa yang selanjutnya adalah dengan tetap memperhatikan makan. Sebab seseorang bisa saja melupakanya ada karena ingin segeran menuntaskan lapar perutnya atau hal lainnya. Tentu saja hal ini bertentangan dengan adab dalam Islam. Dimana segala sesuatu telah diatur dan memiliki adab agar bernilai kebaikam bagi manusia.

Demikianlah keutamaan saat berbuka puasa. Semoga dapat meningkatkan nilai dari ibadah puasa yang sedangg kita jalankan. Serta ibadah kita dapat diterima Allah Swt.Amiin


FAHAMI ISLAM NUSANTARA DENGAN ILMU BUKAN DENGAN EMOSI




I.  Istilah Islam Nusantara

Islam merupakan agama yang kaffah (holistis dan universal), yang memiliki sistem melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi Islam yang terdiri dari tiga hukum. Pertama, ahkam I’tiqadiyyah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ahkam Khuluqiyah, yaitu ajaran-ajaran yang memberikan petunjuk kepada mukallaf untuk membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga, ahkam ‘amaliyyah/hukum praktis, yaitu tuntunan dan tuntutan yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.[1] Dengan demikian, Islam merupakan sebuah keyakinan atau ideologi yang dianut oleh muslim di dunia.
Secara etimologis, Nusantara berasal dari bahasa Sansakerta yang terdiri dari dua kata: Nusa dan Natar. Nusa berarti pulau, tanah air. Antara berarti jarak, sela, selang, di tengah-tengah dua benda. Nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara Benua Asia dan Australia, diapit oleh dua lautan, Hindia dan Pasifik.[2] Karenanya, tidak salah jika Radhar Panca Dahana menyatakan bahwa orang-orang Nusantara adalah bangsa bahari yang inklusif. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil’alamin. Nusantara adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna: nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca –seorang penulis sekaligus pendeta Buddha – menggambarkan wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaysia, Singapura, Brunei, dan bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat Statistik, Wilayah Indonesia sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda.
Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai Papua di bagian Timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan keanekaragaman geografis, biologis, etnis, bahasa, dan budaya. Kata “Nusantara” berasal dari bahasa susastra Jawa di abad ke 14 M, yang merujuk pada rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.[3]
Pengertian Islam Nusantara secara bahasa merupakan jenis penggabungan kata yang disebut aneksi, karena masuk dalam kategori aneksi maka terma Islam Nusantara sama saja dengan terma Islam di Nusantara.[4]Menurut susunan gramatika Arab bahwa rangkaian dua kata Islam Nusantara bukan susunan shifat maushuf, (sifat yang disifati), melainkan susunan idlafah (aneksi). Oleh karena itu di antara dua kata tersebut terkandung kata imbuhan, bisa berimbuhan min (dari) atau fi (di), maka rangkaian  Islam Nusantara itu  bukan bermakna Islam disifati Nusantara, tetapi Islam hidup di Nusantara. Kata Nusantara bukan sifat dari Islam tetapi sebagai idlafah.[5] Sedangkan dari sisi subtansi, terma Islam Nusantara adalah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita budaya setempat.[6]
Sementara Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil,MA[7] menilai pembentukan istilah Islam Nusantara memiliki kesalahan bahasa yang mendasar. Sistem bahasa Indonesia adalah diterangkan-menerangkan. Kata yang diterangkan lebih spesifik dan kata yang menerangkan lebih umum. Sebagaimna Islam Nusantara, Islam diterangkan dan Nusantara menerangkan, dengan pengertian bahasa seperti itu, karenanya Islam Nusantara salah secara bahasa, sebab itu berarti mereduksi makna Islam hanya sekedar nusantara.
Menurut katib Syuriah PBNU KH. Afifuddin Muhajir bahwasanya Islam Nusantara adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih muamalah sebagai hasil dialektika antara nash, syariat dan ‘urf, budaya dan realita di bumi Nusantara. Cendikiawan muslim  Azyumardi Azra juga menjelaskan tentang Islam Nusantara sebagai Islam yang distingtif  yang merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Dengan ciri ortodoksi Islam Nusantara (Kalam Asy’ari, Fiqh Mazhab Syafi’i, dan Tasawuf Ghazali) sehingga menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran.
Menurut Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub Pengurus Besar Nadhlatul ‘Ulama (PBNU) dan Imam Besar Masjid Istiqlal  mengatakan bahwa “Islam Nusantara” itu adalah Islam di Nusantara, maka itu tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi. Tapi kalau budaya, boleh diikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya.[8]
Berdasarkan hasil penjelasan tentang pengetian Islam Nusantara dari berbagai kalangan intelektual muslim, dapat disimpulkan, bahwa istilah Islam Nusantara berarti Islam di Nusantara atau Islam yang bercorak budaya Nusantara yang merupakan hasil dialektika antara Nash,Syariat, Urf, Budaya,Tradisi dan realita di bumi Nusantara. Dengan catatan selama budaya Nusantara tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, tidak semua ajaran syariat bisa diadaptasikan dengan budaya dan realitas, karena budaya Nusantara belum tentu sesuai dengan ajaran Islam, justru perlu Islamisasi budaya yang berkelanjutan, untuk Islamisasi budaya Nusantara justru perlu elaborasi terkait prinsip fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial) dalam menciptakan budaya Nusantara yang Islami.

II.   Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Berdasarkan catatan sejarah bahwa kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13 sampai abad ke-15 M(termasuk kerajaan Jeumpa, Tambayung, dan Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum pentingnya di Jawa yakni saat berdirinya kesultanan Demak.
kedatanganIslam di Nusantara, sebagai tamu yang pada gilirannya menjadi bagian keluarga. karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter yang berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia muslim lainnya Islam datang sebagai hakim, menguasai, menegakkan hukum dan menyelesaikan persengketaan. Maka hampir semua pakar sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di Nusantara melalui proses yang difusif dan adaptif dan sebagian besar sangat menghindari metode penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhaisme sebelumnya, Islam menyatu dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal yang unggul di Nusantara.[9]
Ada dua prinsip strategis untuk memastikan otentisitas ajaran Islam, sekaligus menjaga harmoni dengan realitas sosial yang ada antara lain: Pertama, memastikan fokus yang berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritual Islam (tasawwuf), agar semangat utama agama, sebagai sumber cinta dan kasih sayang universal, tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa) yang berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam. Kedua, adalah menempatkan Islam sebagai penduduk yang setara dalam masyarakat yang sangat plural.
Dua prinsip tersebut di atas menjadi dasar dakwah Ulama Nusantara untuk melakukan manuver terkait dengan hukum syariat, agar tetap terlibat secara dekat dengan lingkungan sosial yang lebih luas, tanpa mengabaikan keterikatan dengan atau praktik dari syariat itu sendiri. Contoh kasus tradisi Minangkabau sebagaimana disebutkan di atas, ulama menerapkan hukum syariat terkait pembagian warisan sesuai dengan konsensus yang tercapai di antara para ahli waris. Dalam kasus ini, hukum adat yang bertentangan dengan fikih diposisikan dalam wilayah konsensus.[10]
Keunggulan peradaban dan budaya komunitas Islam inilah yang menjadi modal kekuatan Islam Indonesia, karena dengan peradaban dan pendekatan budaya ternyata lebih efektif dalam mendakwahkan Islam ketimbang pendekatan militer.[11] Peradaban Nusantara adalah tentang mementingkan harmoni dengan orang lain, di atas kepentingan pribadi, kepercayaan diri secara spiritual, yang memungkinkan seseorang untuk mengalami serta merangkul ide-ide dan ajaran-ajaran baru, menumbuhkan karakter sederhana, alih-alih hanya mengejar pencapaian materi, juga menyadari bahwa perbedaan pendapat (dan agama) bukanlah perkara yang berbahaya.
Dalam membangun karakteristik Islam Nusantara, peran penyebar masuknya Islam di Nusantara seperti Walisongo cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam Nusantara. Para wali yang merupakan gabungan antara ahli syari’ah dan tasawuf ini telah mengembangkan Islam ramah yang bersifat kultural. Sifat kultural ini bisa terbentuk, karena penekanan para wali atas subtansi Islam yang akhirnya bisa membumi ke dalam bentuk budaya keagamaan lokal pra-Islam. Proses ini yang disebut KH. Abdurrahman Wahid 1980  sebagai pribumisasi Islam, di mana ajaran Islam disampaikan dengan meminjam bentuk budaya lokal. Pribumisasi Islam ala Walisongo mengajarkan toleransi, substansi dan kesadaran budaya dalam dakwah Islam. Sebuah perwujudan keislaman yang bersifat kultural yang merupakan pertemuan antara nilai-nilai normatif Islam dengan tradisi lokal.[12]
Dakwah walisongo mencerminkan beberapa kaidah di atas, terutama Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka, mereka harus didekati secara bertahap. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran-aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, laying kalimasada, lakon wayang petruk jadi raja. Lanskap pusat kota berupa keratin, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Dakwah dengan metode tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif, sehingga sebagian besar adipati di Jawa masuk Islam melalui sunan Kalijaga.
Namun demikian, perlu juga dicatat bahwa dakwah walisongo tersebut ternyata belum selesai, harus terus dievaluasi dan diarahkan sehingga Islamisasi budaya Nusantara dapat diadaptasikan secara kaffah  untuk mencapai target dakwah sesuai syariat Islam.
Keutamaan umat Islam di Indonesia menurut Greg Barton sebagai jendela yang bagus untuk melihat Islam secara utuh.[13] Islam di Indonesia telah mempertunjukkan fitur-fitur keberagamaan yang distingtif dan elegan.[14] Keutamaan modal dakwah wali songo ditambah modal tradisi kesarjanaan yang pernah membentuk diskursus keislaman tingkat dunia. Bahkan, Islam di negri ini pernah melahirkan ulama berkaliber internasional, seperti Imam Nawawi al-Bantani, Mahfuzh al-Tarmisi, yang karyanya beredar di belahan dunia lain, seperti di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.[15]
Pendekatan sintesis kreatif ini secara sempurna ditunjukkan oleh model dakwah Sunan Kalijaga yang menjelmakan istilah-istilah kejawen tetapi sebenarnya berisi Islam, seperti Sekaten, Dalang, Jimat Kalimasodo, dsb. Hasilnya, seperti dicatat Raffles, proses Islamisasi yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-15 mengalami akselerasi yang luar biasa sehingga penduduk kepulauan Nusantara, kecuali sebagian kecil saja, telah berhasil diislamkan seluruhnya pada abad ke-16.[16]


[1] KH. Afifuddin Muhajir, Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia, Islam Nusantara dari Ushul Hingga Paham Kebangsaan, Mizan Media Utama, 2016, h. 61
[2]Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai subjek dalam Islamic Studies, Lintas Diskursus dan Metodologis, h. 243.
[3] KH. Yahya Cholil Staquf, Islam Merangkul Nusantara, Islam Nusantara dari Ushul Hingga Paham Kebangsaan, Mizan Media Utama, 2016, h. 191
[4]Kamus Besar Bahasa Indonesia,  aneksi adalah  Gabungan kata dalam bahasa Indonesia, baik frase maupun majemuk (bagi yang setuju) memperlihatkan hubungan yang diterangkan dengan yang menerangkan lazim disebut DM. Hubungan erat antara yang diterangkan (bagian inti) dengan yang menerangkan (bukan inti) disebut aneksi. Hubungan iISlni menghasilkan makna baru.
[5] KH. Subhan Ma’mun, 2015
[6] Afifuddin Muhajir, Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, PT. Mizan Pustaka, 2016, h. 169
[7] Hasil wawancara dengan Ust. Dr. Fahmi Zarkasyi, M.Phil.MA Bersama Majalah UMMI 
[8] Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Andi Ryansyah berbincang dengan Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub, Jum’at (19/6/2015) di ruang Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
[9] KH. Yahya Cholil Staquf, Islam Merangkul Nusantara, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaa, Mizan, h. 192.
[10]Ibid, h.191
[11] Badri Yatim, Sejarah Dakwah Islam di Indonesia, Makalah dalam seminar Nasional dan Launching Lembaga Kajian Dakwah Rahmat Semesta, Jakarta, 25 Juni 2003.
[12]Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai subjek dalam Islamic Studies, Lintas Diskursus dan Metodologis, Mizan, h. 240
[13] http://www.Perspektif.net/article/article.php/article_id=885.             
[14] Masdar Hilmy,”Menjadi Islam Indonesia,” Kompas, 24 November 2012.
[15] Dr. Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara Respons Islam terhadap Isu-Isu Aktual, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1 2014, h. 185
[16] Sir Thomas Stamford Raffles, The History Of Java, Vol. II. Second, (London: Jhon Murray, 1830), h.2

Wednesday 22 April 2020

MINAT dalam BELAJAR


Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap, berkat latihan dan pengalaman belajar sesungguhnya adalah ciri khas manusia dan yang membedakannya dengan binatang. Belajar yang dilakukan oleh manusia merupakan bagian dalam hidupnya, berlangsung seumur hidup, kapan aja, dan dimana saja, baik dikampus, dikelas, dijalanan dalam waktu yang tak dapat ditentukan sebelumnya. Namun demikian satu hal yang sudah pasti bahwa belajar yang dilakukan manusia senantiasa dilandasi oleh Itikad dan maksud tertentu, berbeda halnya dengan kegiatan yang dilakukan oleh binatang.
Dalam konteks merancang sistem belajar, konsep belajar ditafsirkan berbeda. Belajar dalam hal ini harus dilakukan dengan sengaja, direncanakan sebelumnya dengan struktur tertentu, maksudnya agar proses belajar dan hasil-hasil yang dicapai dapat dikontrol secara cermat. Guru dengan sengaja menciptakan kondisi dan lingkungan yang menyediakan kesempatan belajar kepada para siswa untuk mencapai hasil tertentu pula kepada siswa. Hal ini dapat diketahui melalui system penilaian yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
Hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut menurut Oemar hamalik dapat diartikan “ terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan menjadi sopan dan lain – lain.”[1] Belajar yang merupakan proses kegiatan untuk mengubah tingkah laku si subyek belajar, ternyata banyak faktor yang mempengaruhinya. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi itu, secara garis besar dapat dibagi dalam klasifikasi faktor Intern (dari dalam) diri si subjek belajar dan factor ekstern (dari luar) si subjek belajar. Faktor Internal ini menyangkut faktor-faktor Fisiologis dan faktor Psikologis, tetapi relevan dengan persoalan reinforcement, maka tinjauan mengenai faktor-faktor intern akan dikhususkan pada faktor-faktor Psikologis.
Kehadiran faktor-faktor Psikologis dalam belajar akan memberikan andil cukup penting, Faktor-faktor Psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam upaya mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya tanpa kehadiran faktor Psikologis secara optimal bisa jadi memperlambat proses belajar, bahkan dapat pula menambah kesulitan dalam belajar. Faktor-faktor Psikologis yang dikatakan memiliki paranan penting itu dapat dipandang sebagai cara-cara berfungsinya pikiran siswa dalam hubungannya dengan pemahaman bahan pelajaran. Sehingga penguasaan terhadap bahan yang disajikan lebih mudah dan efektif. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Sardiman bahwa Proses belajar mengajar itu akan berhasil baik, kalau didukung oleh faktor-faktor Psikologis dari si pelajar, salah satu faktor Psikologis adalah minat.[2]
Minat merupakan faktor dominan yang mendorong individu untuk melakukan kegiatan yang diinginkan. Dalam proses belajar mengajar, kebutuhan berprestasi menggerakan dan mengarahkan perbuatan,menopang tingkah laku dan menyeleksi perbuatan individu yang berorientasi kepada keberhasilan. Untuk itu guru harus berupaya menimbulkan dan mempertahankan perhatian dan dorongan kepada siswa.
 Upaya memberikan dorongan belajar kepada siswa dilakukan guru sebelum mengajar dimulai dan waktunya menurut Nana sudjana yaitu saat berlangsungnya proses belajar mengajar terutama pada saat siswa melakukan kegiatan belajar dan pada saat kondisi belajar mengalami kemunduran.
Kepiawaian guru dalam penguasaan strategi pembelajaran merupakan salah satu variabel yang patut di pertimbangkan. Setiap guru memiliki kelebihan dan keterbatasan pribadi. Sebagai contoh di lapangan kadang kadang ada guru yang jika menerangkan pelajaran sangat menarik perhatian dan jelas. Sementara ada guru lain yang walaupun menggunakan strategi pembelajaran yang sama dengan guru yang tadi akan tetapi ia tak mampu menarik perhatian siswa bahkan cenderung membosankan. Hal ini terjadi mungkin karena guru yang pertama tadi memiliki kelebihan dalam hal seni mengajar.
Untuk belajar sangat diperlukan adanya minat. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada minat. Semakin kuat minat yang di miliki akan semakin berhasil pula pembelajaran itu. Jadi minat akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Rosulullah SAW bersabda :     
Artinya :”Tuntutlah ilmu walaupun di negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim (laki-laki atau perempuan). Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada penuntut ilmu karena senang dengan yang ia tuntut”. (HR. Ibnul Barr)
Dalam belajar, minat berperan sebagai Motivating Force  yaitu sebagai kekuatan yang mendorong siswa untuk belajar, siswa yang berminat sikapnya senang terhadap pelajaran dan akan tampak terdorong terus untuk tekun belajar. Sedangkan siswa yang kurang mempunyai minat sikapnya hanya menerima pelajaran. Mereka hanya bergerak untuk mau belajar tetapi sulit untuk terus bisa tekun karena tidak ada pendorongnya.



[1] Oemar Hamalik. Pengajaran berdasarkan pendekatan sistem. (Jakarta: Bumi aksara.2002) Cet.1. h. 54
[2] Sardiman, interaksi dan motivasi belajar mengajar. (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004). Cet 11, h. 39-40

Friday 26 May 2017

PUASA DAN TAQWA


      Taqwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berartu, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah."
   Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertaqwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah Swt.

     Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam :

  1. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dapat membakar:", dan hukum-hukum alam masyarakat lainnya.
  2. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.             Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal itu dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt (yang menyiksa).

     Dengan demikian yang bertaqwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. Setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah Swt melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadits.

    Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara lain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah suatu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.

Wallahu'alam

#Wawasan Al-Qur'an Dr.M.Quraish Shihab,M.A.

TUJUAN PUASA


Secara jelas Al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketaqwaan atau la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Muhammad Saw. Misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga."

Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar san dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Allah Swt menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."

Di sisi lain, dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, "Semua amal putra putri Adam untuk dirinya, kecuali Puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."

Ini berarti pula bahwa puasa merupakan suatu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah Swt dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan dan minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dari keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat sengaja bersembunyi dari pandangan mereka.

Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi Karena Allah Swt. Itulah antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadits qudsi di atas.

Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagainya. Tetapi seseorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Qur'an, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah swt semata.

Wallahu'alam

Thursday 25 May 2017

PUASA RAMADHAN

Marhaban Ya Ramadhan...

Dalam kamus besar Bahasa indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)."Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang".

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaanya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainakan "Marhaban ya Ramadhan".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga". Sedangkan sahlan berasal dari kata Sahl yang berarti mudah. Juga berarri "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki".Ahlan Wasahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah dan mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb (yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan, serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat, yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya. Itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentunya kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah Swt melalui pengabdian untuk agama, bangsa, dan negara, semoga kita berhasil, dan mari kita buka lembaran Al-Qur-an untuk mendapat tuntunannya.

#Wawasan Al-Qur'an Dr.M.Quraish Shihab, M.A.