Monday 27 April 2020

FAHAMI ISLAM NUSANTARA DENGAN ILMU BUKAN DENGAN EMOSI




I.  Istilah Islam Nusantara

Islam merupakan agama yang kaffah (holistis dan universal), yang memiliki sistem melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi Islam yang terdiri dari tiga hukum. Pertama, ahkam I’tiqadiyyah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ahkam Khuluqiyah, yaitu ajaran-ajaran yang memberikan petunjuk kepada mukallaf untuk membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga, ahkam ‘amaliyyah/hukum praktis, yaitu tuntunan dan tuntutan yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.[1] Dengan demikian, Islam merupakan sebuah keyakinan atau ideologi yang dianut oleh muslim di dunia.
Secara etimologis, Nusantara berasal dari bahasa Sansakerta yang terdiri dari dua kata: Nusa dan Natar. Nusa berarti pulau, tanah air. Antara berarti jarak, sela, selang, di tengah-tengah dua benda. Nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara Benua Asia dan Australia, diapit oleh dua lautan, Hindia dan Pasifik.[2] Karenanya, tidak salah jika Radhar Panca Dahana menyatakan bahwa orang-orang Nusantara adalah bangsa bahari yang inklusif. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil’alamin. Nusantara adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna: nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca –seorang penulis sekaligus pendeta Buddha – menggambarkan wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaysia, Singapura, Brunei, dan bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat Statistik, Wilayah Indonesia sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda.
Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai Papua di bagian Timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan keanekaragaman geografis, biologis, etnis, bahasa, dan budaya. Kata “Nusantara” berasal dari bahasa susastra Jawa di abad ke 14 M, yang merujuk pada rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.[3]
Pengertian Islam Nusantara secara bahasa merupakan jenis penggabungan kata yang disebut aneksi, karena masuk dalam kategori aneksi maka terma Islam Nusantara sama saja dengan terma Islam di Nusantara.[4]Menurut susunan gramatika Arab bahwa rangkaian dua kata Islam Nusantara bukan susunan shifat maushuf, (sifat yang disifati), melainkan susunan idlafah (aneksi). Oleh karena itu di antara dua kata tersebut terkandung kata imbuhan, bisa berimbuhan min (dari) atau fi (di), maka rangkaian  Islam Nusantara itu  bukan bermakna Islam disifati Nusantara, tetapi Islam hidup di Nusantara. Kata Nusantara bukan sifat dari Islam tetapi sebagai idlafah.[5] Sedangkan dari sisi subtansi, terma Islam Nusantara adalah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita budaya setempat.[6]
Sementara Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil,MA[7] menilai pembentukan istilah Islam Nusantara memiliki kesalahan bahasa yang mendasar. Sistem bahasa Indonesia adalah diterangkan-menerangkan. Kata yang diterangkan lebih spesifik dan kata yang menerangkan lebih umum. Sebagaimna Islam Nusantara, Islam diterangkan dan Nusantara menerangkan, dengan pengertian bahasa seperti itu, karenanya Islam Nusantara salah secara bahasa, sebab itu berarti mereduksi makna Islam hanya sekedar nusantara.
Menurut katib Syuriah PBNU KH. Afifuddin Muhajir bahwasanya Islam Nusantara adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih muamalah sebagai hasil dialektika antara nash, syariat dan ‘urf, budaya dan realita di bumi Nusantara. Cendikiawan muslim  Azyumardi Azra juga menjelaskan tentang Islam Nusantara sebagai Islam yang distingtif  yang merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Dengan ciri ortodoksi Islam Nusantara (Kalam Asy’ari, Fiqh Mazhab Syafi’i, dan Tasawuf Ghazali) sehingga menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran.
Menurut Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub Pengurus Besar Nadhlatul ‘Ulama (PBNU) dan Imam Besar Masjid Istiqlal  mengatakan bahwa “Islam Nusantara” itu adalah Islam di Nusantara, maka itu tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi. Tapi kalau budaya, boleh diikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya.[8]
Berdasarkan hasil penjelasan tentang pengetian Islam Nusantara dari berbagai kalangan intelektual muslim, dapat disimpulkan, bahwa istilah Islam Nusantara berarti Islam di Nusantara atau Islam yang bercorak budaya Nusantara yang merupakan hasil dialektika antara Nash,Syariat, Urf, Budaya,Tradisi dan realita di bumi Nusantara. Dengan catatan selama budaya Nusantara tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, tidak semua ajaran syariat bisa diadaptasikan dengan budaya dan realitas, karena budaya Nusantara belum tentu sesuai dengan ajaran Islam, justru perlu Islamisasi budaya yang berkelanjutan, untuk Islamisasi budaya Nusantara justru perlu elaborasi terkait prinsip fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial) dalam menciptakan budaya Nusantara yang Islami.

II.   Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Berdasarkan catatan sejarah bahwa kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13 sampai abad ke-15 M(termasuk kerajaan Jeumpa, Tambayung, dan Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum pentingnya di Jawa yakni saat berdirinya kesultanan Demak.
kedatanganIslam di Nusantara, sebagai tamu yang pada gilirannya menjadi bagian keluarga. karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter yang berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia muslim lainnya Islam datang sebagai hakim, menguasai, menegakkan hukum dan menyelesaikan persengketaan. Maka hampir semua pakar sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di Nusantara melalui proses yang difusif dan adaptif dan sebagian besar sangat menghindari metode penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhaisme sebelumnya, Islam menyatu dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal yang unggul di Nusantara.[9]
Ada dua prinsip strategis untuk memastikan otentisitas ajaran Islam, sekaligus menjaga harmoni dengan realitas sosial yang ada antara lain: Pertama, memastikan fokus yang berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritual Islam (tasawwuf), agar semangat utama agama, sebagai sumber cinta dan kasih sayang universal, tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa) yang berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam. Kedua, adalah menempatkan Islam sebagai penduduk yang setara dalam masyarakat yang sangat plural.
Dua prinsip tersebut di atas menjadi dasar dakwah Ulama Nusantara untuk melakukan manuver terkait dengan hukum syariat, agar tetap terlibat secara dekat dengan lingkungan sosial yang lebih luas, tanpa mengabaikan keterikatan dengan atau praktik dari syariat itu sendiri. Contoh kasus tradisi Minangkabau sebagaimana disebutkan di atas, ulama menerapkan hukum syariat terkait pembagian warisan sesuai dengan konsensus yang tercapai di antara para ahli waris. Dalam kasus ini, hukum adat yang bertentangan dengan fikih diposisikan dalam wilayah konsensus.[10]
Keunggulan peradaban dan budaya komunitas Islam inilah yang menjadi modal kekuatan Islam Indonesia, karena dengan peradaban dan pendekatan budaya ternyata lebih efektif dalam mendakwahkan Islam ketimbang pendekatan militer.[11] Peradaban Nusantara adalah tentang mementingkan harmoni dengan orang lain, di atas kepentingan pribadi, kepercayaan diri secara spiritual, yang memungkinkan seseorang untuk mengalami serta merangkul ide-ide dan ajaran-ajaran baru, menumbuhkan karakter sederhana, alih-alih hanya mengejar pencapaian materi, juga menyadari bahwa perbedaan pendapat (dan agama) bukanlah perkara yang berbahaya.
Dalam membangun karakteristik Islam Nusantara, peran penyebar masuknya Islam di Nusantara seperti Walisongo cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam Nusantara. Para wali yang merupakan gabungan antara ahli syari’ah dan tasawuf ini telah mengembangkan Islam ramah yang bersifat kultural. Sifat kultural ini bisa terbentuk, karena penekanan para wali atas subtansi Islam yang akhirnya bisa membumi ke dalam bentuk budaya keagamaan lokal pra-Islam. Proses ini yang disebut KH. Abdurrahman Wahid 1980  sebagai pribumisasi Islam, di mana ajaran Islam disampaikan dengan meminjam bentuk budaya lokal. Pribumisasi Islam ala Walisongo mengajarkan toleransi, substansi dan kesadaran budaya dalam dakwah Islam. Sebuah perwujudan keislaman yang bersifat kultural yang merupakan pertemuan antara nilai-nilai normatif Islam dengan tradisi lokal.[12]
Dakwah walisongo mencerminkan beberapa kaidah di atas, terutama Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka, mereka harus didekati secara bertahap. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran-aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, laying kalimasada, lakon wayang petruk jadi raja. Lanskap pusat kota berupa keratin, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Dakwah dengan metode tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif, sehingga sebagian besar adipati di Jawa masuk Islam melalui sunan Kalijaga.
Namun demikian, perlu juga dicatat bahwa dakwah walisongo tersebut ternyata belum selesai, harus terus dievaluasi dan diarahkan sehingga Islamisasi budaya Nusantara dapat diadaptasikan secara kaffah  untuk mencapai target dakwah sesuai syariat Islam.
Keutamaan umat Islam di Indonesia menurut Greg Barton sebagai jendela yang bagus untuk melihat Islam secara utuh.[13] Islam di Indonesia telah mempertunjukkan fitur-fitur keberagamaan yang distingtif dan elegan.[14] Keutamaan modal dakwah wali songo ditambah modal tradisi kesarjanaan yang pernah membentuk diskursus keislaman tingkat dunia. Bahkan, Islam di negri ini pernah melahirkan ulama berkaliber internasional, seperti Imam Nawawi al-Bantani, Mahfuzh al-Tarmisi, yang karyanya beredar di belahan dunia lain, seperti di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.[15]
Pendekatan sintesis kreatif ini secara sempurna ditunjukkan oleh model dakwah Sunan Kalijaga yang menjelmakan istilah-istilah kejawen tetapi sebenarnya berisi Islam, seperti Sekaten, Dalang, Jimat Kalimasodo, dsb. Hasilnya, seperti dicatat Raffles, proses Islamisasi yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-15 mengalami akselerasi yang luar biasa sehingga penduduk kepulauan Nusantara, kecuali sebagian kecil saja, telah berhasil diislamkan seluruhnya pada abad ke-16.[16]


[1] KH. Afifuddin Muhajir, Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia, Islam Nusantara dari Ushul Hingga Paham Kebangsaan, Mizan Media Utama, 2016, h. 61
[2]Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai subjek dalam Islamic Studies, Lintas Diskursus dan Metodologis, h. 243.
[3] KH. Yahya Cholil Staquf, Islam Merangkul Nusantara, Islam Nusantara dari Ushul Hingga Paham Kebangsaan, Mizan Media Utama, 2016, h. 191
[4]Kamus Besar Bahasa Indonesia,  aneksi adalah  Gabungan kata dalam bahasa Indonesia, baik frase maupun majemuk (bagi yang setuju) memperlihatkan hubungan yang diterangkan dengan yang menerangkan lazim disebut DM. Hubungan erat antara yang diterangkan (bagian inti) dengan yang menerangkan (bukan inti) disebut aneksi. Hubungan iISlni menghasilkan makna baru.
[5] KH. Subhan Ma’mun, 2015
[6] Afifuddin Muhajir, Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, PT. Mizan Pustaka, 2016, h. 169
[7] Hasil wawancara dengan Ust. Dr. Fahmi Zarkasyi, M.Phil.MA Bersama Majalah UMMI 
[8] Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Andi Ryansyah berbincang dengan Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub, Jum’at (19/6/2015) di ruang Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
[9] KH. Yahya Cholil Staquf, Islam Merangkul Nusantara, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaa, Mizan, h. 192.
[10]Ibid, h.191
[11] Badri Yatim, Sejarah Dakwah Islam di Indonesia, Makalah dalam seminar Nasional dan Launching Lembaga Kajian Dakwah Rahmat Semesta, Jakarta, 25 Juni 2003.
[12]Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai subjek dalam Islamic Studies, Lintas Diskursus dan Metodologis, Mizan, h. 240
[13] http://www.Perspektif.net/article/article.php/article_id=885.             
[14] Masdar Hilmy,”Menjadi Islam Indonesia,” Kompas, 24 November 2012.
[15] Dr. Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara Respons Islam terhadap Isu-Isu Aktual, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1 2014, h. 185
[16] Sir Thomas Stamford Raffles, The History Of Java, Vol. II. Second, (London: Jhon Murray, 1830), h.2