I. Istilah
Islam Nusantara
Islam merupakan agama yang kaffah (holistis dan
universal), yang memiliki sistem melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa
Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi Islam yang terdiri dari tiga
hukum. Pertama, ahkam I’tiqadiyyah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan
dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi
Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ahkam
Khuluqiyah, yaitu ajaran-ajaran yang memberikan petunjuk kepada mukallaf
untuk membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan
sifat-sifat terpuji. Ketiga, ahkam ‘amaliyyah/hukum praktis, yaitu
tuntunan dan tuntutan yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf, mulai
dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.[1]
Dengan demikian, Islam merupakan sebuah keyakinan atau ideologi yang dianut oleh muslim di dunia.
Secara etimologis, Nusantara berasal dari bahasa
Sansakerta yang terdiri dari dua kata: Nusa dan Natar. Nusa berarti pulau,
tanah air. Antara berarti jarak, sela, selang, di tengah-tengah dua benda.
Nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara Benua Asia dan Australia,
diapit oleh dua lautan, Hindia dan Pasifik.[2]
Karenanya, tidak salah jika Radhar Panca Dahana menyatakan bahwa orang-orang
Nusantara adalah bangsa bahari yang inklusif. Islam bukan hanya cocok diterima
orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan
sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil’alamin. Nusantara adalah kata
benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna: nusa (pulau) dan antara
(terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar
tahun 1365 M, Empu Prapanca –seorang penulis sekaligus pendeta Buddha –
menggambarkan wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar
pulau-pulau dalam wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar
pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan
Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat),
ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan
Malaysia, Singapura, Brunei, dan bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut
data Biro Pusat Statistik, Wilayah Indonesia sekarang terdiri dari 1.340
kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda.
Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kepulauan Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian
barat sampai Papua di bagian Timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan
keanekaragaman geografis, biologis, etnis, bahasa, dan budaya. Kata “Nusantara”
berasal dari bahasa susastra Jawa di abad ke 14 M, yang merujuk pada rangkaian
pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.[3]
Pengertian Islam Nusantara secara bahasa merupakan jenis penggabungan
kata yang disebut aneksi, karena masuk dalam kategori aneksi maka terma Islam
Nusantara sama saja dengan terma Islam di Nusantara.[4]Menurut susunan gramatika Arab bahwa rangkaian dua
kata Islam Nusantara bukan susunan shifat maushuf, (sifat yang
disifati), melainkan susunan idlafah (aneksi). Oleh karena itu di antara
dua kata tersebut terkandung kata imbuhan, bisa berimbuhan min (dari)
atau fi (di), maka rangkaian
Islam Nusantara itu bukan
bermakna Islam disifati Nusantara, tetapi Islam hidup di Nusantara. Kata
Nusantara bukan sifat dari Islam tetapi sebagai idlafah.[5]
Sedangkan dari sisi subtansi, terma Islam Nusantara adalah paham dan praktik
keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan
realita budaya setempat.[6]
Sementara Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil,MA[7]
menilai pembentukan istilah Islam Nusantara memiliki kesalahan bahasa yang
mendasar. Sistem bahasa Indonesia adalah diterangkan-menerangkan. Kata yang
diterangkan lebih spesifik dan kata yang menerangkan lebih umum. Sebagaimna
Islam Nusantara, Islam diterangkan dan Nusantara menerangkan, dengan pengertian
bahasa seperti itu, karenanya Islam Nusantara salah secara bahasa, sebab itu
berarti mereduksi makna Islam hanya sekedar nusantara.
Menurut katib Syuriah PBNU KH. Afifuddin Muhajir bahwasanya Islam Nusantara
adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih muamalah
sebagai hasil dialektika antara nash, syariat dan ‘urf,
budaya dan realita di bumi Nusantara. Cendikiawan muslim Azyumardi Azra juga menjelaskan tentang Islam
Nusantara sebagai Islam yang distingtif
yang merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan
vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di
Indonesia. Dengan ciri ortodoksi Islam Nusantara (Kalam Asy’ari, Fiqh Mazhab
Syafi’i, dan Tasawuf Ghazali) sehingga menumbuhkan karakter wasathiyah
yang moderat dan toleran.
Menurut Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub Pengurus Besar
Nadhlatul ‘Ulama (PBNU) dan Imam Besar Masjid Istiqlal mengatakan bahwa “Islam Nusantara” itu adalah
Islam di Nusantara, maka itu tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang
bercorak budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak
bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara”
itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat.
Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi
Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti adalah
agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi. Tapi kalau
budaya, boleh diikuti dan boleh juga
tidak diikuti. Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti.
Demikian pula budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara
dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai koteka itu juga
budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak
boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya.[8]
Berdasarkan
hasil penjelasan tentang pengetian Islam Nusantara dari berbagai kalangan
intelektual muslim, dapat disimpulkan, bahwa istilah Islam Nusantara berarti
Islam di Nusantara atau Islam yang bercorak budaya Nusantara yang merupakan
hasil dialektika antara Nash,Syariat, Urf, Budaya,Tradisi dan
realita di bumi Nusantara. Dengan catatan selama budaya Nusantara tersebut
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, tidak semua ajaran
syariat bisa diadaptasikan dengan budaya dan realitas, karena budaya Nusantara
belum tentu sesuai dengan ajaran Islam, justru perlu Islamisasi budaya yang
berkelanjutan, untuk Islamisasi budaya Nusantara justru perlu elaborasi terkait
prinsip fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial) dalam menciptakan budaya
Nusantara yang Islami.
II. Sejarah Masuknya Islam
di Nusantara
Berdasarkan catatan sejarah bahwa kerajaan Islam telah berdiri di
Nusantara pada akhir abad ke-13 sampai abad ke-15 M(termasuk kerajaan Jeumpa,
Tambayung, dan Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum
pentingnya di Jawa yakni saat berdirinya kesultanan Demak.
kedatanganIslam di Nusantara, sebagai tamu yang pada gilirannya menjadi
bagian keluarga. karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter yang
berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia muslim lainnya Islam
datang sebagai hakim, menguasai, menegakkan hukum dan menyelesaikan
persengketaan. Maka hampir semua pakar sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di
Nusantara melalui proses yang difusif dan adaptif dan sebagian besar sangat
menghindari metode penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhaisme sebelumnya,
Islam menyatu dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal yang unggul di
Nusantara.[9]
Ada dua prinsip strategis untuk memastikan otentisitas ajaran Islam,
sekaligus menjaga harmoni dengan realitas sosial yang ada antara lain: Pertama,
memastikan fokus yang berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritual
Islam (tasawwuf), agar semangat utama agama, sebagai sumber cinta dan kasih
sayang universal, tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa) yang
berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam. Kedua, adalah
menempatkan Islam sebagai penduduk yang setara dalam masyarakat yang sangat
plural.
Dua prinsip tersebut di atas menjadi dasar dakwah Ulama Nusantara untuk
melakukan manuver terkait dengan hukum syariat, agar tetap terlibat secara
dekat dengan lingkungan sosial yang lebih luas, tanpa mengabaikan keterikatan
dengan atau praktik dari syariat itu sendiri. Contoh kasus tradisi Minangkabau
sebagaimana disebutkan di atas, ulama menerapkan hukum syariat terkait
pembagian warisan sesuai dengan konsensus yang tercapai di antara para ahli
waris. Dalam kasus ini, hukum adat yang bertentangan dengan fikih diposisikan
dalam wilayah konsensus.[10]
Keunggulan peradaban dan budaya komunitas Islam inilah yang menjadi modal
kekuatan Islam Indonesia, karena dengan peradaban dan pendekatan budaya
ternyata lebih efektif dalam mendakwahkan Islam ketimbang pendekatan militer.[11]
Peradaban Nusantara adalah tentang mementingkan harmoni dengan orang lain, di
atas kepentingan pribadi, kepercayaan diri secara spiritual, yang memungkinkan
seseorang untuk mengalami serta merangkul ide-ide dan ajaran-ajaran baru,
menumbuhkan karakter sederhana, alih-alih hanya mengejar pencapaian materi,
juga menyadari bahwa perbedaan pendapat (dan agama) bukanlah perkara yang berbahaya.
Dalam membangun karakteristik Islam Nusantara, peran penyebar masuknya
Islam di Nusantara seperti Walisongo cukup dominan dalam pembentukan kultur
Islam Nusantara. Para wali yang merupakan gabungan antara ahli syari’ah dan
tasawuf ini telah mengembangkan Islam ramah yang bersifat kultural. Sifat
kultural ini bisa terbentuk, karena penekanan para wali atas subtansi Islam
yang akhirnya bisa membumi ke dalam bentuk budaya keagamaan lokal pra-Islam.
Proses ini yang disebut KH. Abdurrahman Wahid 1980 sebagai pribumisasi Islam, di mana ajaran
Islam disampaikan dengan meminjam bentuk budaya lokal. Pribumisasi Islam ala
Walisongo mengajarkan toleransi, substansi dan kesadaran budaya dalam dakwah
Islam. Sebuah perwujudan keislaman yang bersifat kultural yang merupakan
pertemuan antara nilai-nilai normatif Islam dengan tradisi lokal.[12]
Dakwah walisongo mencerminkan beberapa kaidah di atas,
terutama Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada
budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian
mereka diserang. Maka, mereka harus didekati secara bertahap. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang. Maka, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara
aliran-aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang,
gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju
takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, laying kalimasada, lakon wayang
petruk jadi raja. Lanskap pusat kota berupa keratin, alun-alun dengan dua
beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Dakwah dengan
metode tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif, sehingga
sebagian besar adipati di Jawa masuk Islam melalui sunan Kalijaga.
Namun demikian, perlu juga dicatat bahwa dakwah
walisongo tersebut ternyata belum selesai, harus terus dievaluasi dan diarahkan
sehingga Islamisasi budaya Nusantara dapat diadaptasikan secara kaffah untuk mencapai target dakwah sesuai syariat
Islam.
Keutamaan umat Islam di Indonesia menurut Greg Barton
sebagai jendela yang bagus untuk melihat Islam secara utuh.[13]
Islam di Indonesia telah mempertunjukkan fitur-fitur keberagamaan yang
distingtif dan elegan.[14]
Keutamaan modal dakwah wali songo ditambah modal tradisi kesarjanaan yang
pernah membentuk diskursus keislaman tingkat dunia. Bahkan, Islam di negri ini
pernah melahirkan ulama berkaliber internasional, seperti Imam Nawawi
al-Bantani, Mahfuzh al-Tarmisi, yang karyanya beredar di belahan dunia lain,
seperti di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.[15]
Pendekatan sintesis kreatif ini secara sempurna
ditunjukkan oleh model dakwah Sunan Kalijaga yang menjelmakan istilah-istilah
kejawen tetapi sebenarnya berisi Islam, seperti Sekaten, Dalang, Jimat
Kalimasodo, dsb. Hasilnya, seperti dicatat Raffles, proses Islamisasi yang
telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-15 mengalami akselerasi yang luar
biasa sehingga penduduk kepulauan Nusantara, kecuali sebagian kecil saja, telah
berhasil diislamkan seluruhnya pada abad ke-16.[16]
[1] KH. Afifuddin Muhajir,
Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia, Islam Nusantara
dari Ushul Hingga Paham Kebangsaan, Mizan Media Utama, 2016, h. 61
[2]Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai
subjek dalam Islamic Studies, Lintas Diskursus dan Metodologis, h. 243.
[3] KH. Yahya Cholil Staquf,
Islam Merangkul Nusantara, Islam Nusantara dari Ushul Hingga Paham Kebangsaan,
Mizan Media Utama, 2016, h. 191
[4]Kamus
Besar Bahasa Indonesia, aneksi
adalah Gabungan kata dalam bahasa
Indonesia, baik frase maupun majemuk (bagi yang setuju) memperlihatkan hubungan
yang diterangkan dengan yang menerangkan lazim disebut DM. Hubungan erat antara
yang diterangkan (bagian inti) dengan yang menerangkan (bukan inti) disebut
aneksi. Hubungan iISlni menghasilkan makna baru.
[5] KH. Subhan Ma’mun, 2015
[6] Afifuddin Muhajir, Islam
Nusantara Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, PT. Mizan
Pustaka, 2016, h. 169
[7] Hasil wawancara dengan
Ust. Dr. Fahmi Zarkasyi, M.Phil.MA Bersama Majalah UMMI
[8] Penggiat Jejak Islam untuk
Bangsa (JIB), Andi Ryansyah berbincang dengan Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub,
Jum’at (19/6/2015) di ruang Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
[9] KH. Yahya Cholil Staquf, Islam
Merangkul Nusantara, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaa,
Mizan, h. 192.
[10]Ibid, h.191
[11] Badri Yatim, Sejarah
Dakwah Islam di Indonesia, Makalah dalam seminar Nasional dan Launching Lembaga
Kajian Dakwah Rahmat Semesta, Jakarta, 25 Juni 2003.
[12]Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai
subjek dalam Islamic Studies, Lintas Diskursus dan Metodologis, Mizan, h.
240
[13]
http://www.Perspektif.net/article/article.php/article_id=885.
[14] Masdar Hilmy,”Menjadi
Islam Indonesia,” Kompas, 24 November 2012.
[15] Dr. Ali Masykur Musa, Membumikan
Islam Nusantara Respons Islam terhadap Isu-Isu Aktual, Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, Cet. 1 2014, h. 185
[16] Sir Thomas Stamford
Raffles, The History Of Java, Vol. II. Second, (London: Jhon Murray,
1830), h.2