Sunday 13 January 2013

Banjir Akibat Siapa ???

Surat Ar-Rum ayat 41 :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Artinya : "Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab perbuatan tangan manusia, supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali."
Kata ظهر  "zhahara" pada mulanya berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi. Sehingga, karena dia di permukaan, maka menjadi nampak dan terang sehingga diketahui dengan jelas. Lawannya adalah بطن  "bathana" yang berarti terjadinya sesuatu di perut bumi, sehingga tidak nampak. Kata zhahara pada ayat di atas diartikan dalam arti banyak dan tersebar.
Kata الفساد "al-fasad" menurut Al-Ashfani adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja, baik jasmani, jiwa maupun hal-hal lain. Ia juga diartikan sebagai antonym dari الصلاة "ash-shalah" yang berarti manfaat atau berguna. Beberapa ulama' kontemporer memahaminya dalam arti kerusakan lingkungan, karena ayat di atas mengaitkan fasad tersebut dengan kata darat dan laut. 
ظهر الفساد في البر  (Telah nampak kerusakan di darat) disebabkan terhentinya hujan dan menipisnya tumbuh-tumbuhan – و البحر  (dan laut) maksudnya di negeri-negeri yang banyak sungainya menjadi kering. بما كسبت ايدي الناس   (disebabkan perbuatan tangan manusia) berupa perbuatan-perbuatan maksiat – ليذيقهم  (supaya Allah merasakan kepada mereka) sebagai hukumannya -- 
لعلهم يرجعون (agar mereka kembali) supaya mereka bertobat dari perbuatan-perbuatan maksiat. 
B.    Analisis Ayat
Ayat Ar-Rum 41 merupakan salah satu ayat yang menerangkan tentang kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh manusia di bumi. Sebenarnya ayat ini merupakan teguran dari Allah kepada para hamba-Nya yang berbuat kerusakan di bumi, agar mereka kembali ke jalan yang lurus.
Allah telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi khalifah Allah, yang berarti pelaksana dari kemauan Tuhan.  Untuk mewujudkan posisi manusia sebagai khalifah, Allah membekalinya dengan akal fikiran yang merupakan pembeda manusia dari makhluk lainnya dan yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dari makhluk lainnya.
Dengan akal fikirannya manusia mempunyai potensi/ kemampuan untuk mengelola apa-apa yang ada di bumi untuk kesejahteraan dirinya. Banyaklah rahasia kebesaran dan kekuasaan Ilahi menjadi jelas dalam dunia, karena usaha menusia. Sebab itu, maka menjadi khalifah hendaklah muslih, berarti suka memperbaiki dan memperindah.
Di samping itu perlu disadari bahwa akan selain akal, manusia pun diberi hawa nafsu yang bertolak belakang dengan akal pikirannya. Dengan nafsunya ini, manusia cenderung untuk melakukan apa saja untuk memenuhi keinginannya tanpa mempedulikan orang lain di sekitarnya. Termasuk pengrusakan-pengrusakan yang terjadi di muka bumi ini, baik di darat maupun di laut merupakan dorongan-dorongan dari hawa nafsu manusia.
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini berarti daratan dan laut menjadi arena kerusakan, misalnya dengan terjadinya pembunuhan dan perampokan di kedua tempat itu. Dan dapat berarti juga bahwa darat dan laut sendiri telah mengalami kerusakan, ketidakseimbangan serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar, sehingga ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya menjelaskan keterkaitan kondisi-kondisi kehidupan dengan usaha mereka, juga menjelaskan bahwa kerusakan hati manusia serta akidah dan amal mereka akan menghasilkan kerusakan di bumi dan memenuhi daratan dan lautan. Tampilnya kerusakan seperti itu, takkan terjadi tanpa adanya sebab. Ia merupakan hasil dari hukum-hukum Allah serta pengaturan-Nya.
Kerusakan di bumi bermula ketika Qabil membunuh saudaranya, Habil. Hal ini menunjukkan bahwa kedengkian, iri hati dan dorongan-dorongan nafsu lainnya bisa menimbulkan kerusakan di bumi. Dewasa ini, banyak kita jumpai kejadian serupa pembunuhan telah merajalela, tidak perlu siapakah korbannya, walaupun itu adalah saudara bahkan orangtuanya sendiri.
Kadang kita termenung kagum memikirkan ayat ini. Sebab ia bisa saja ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini. Misalnya tentang kerusakan yang terjadi di darat karena bekas perbuatan manusia, ialah asap dari zat-zat pembakar, minyak tanah, bensin, solar dan sebagainya. Bagaimana bahaya dari asap-asap pabrik yang besar bersama asap kendaraan yang digunakan manusia untuk bepergian kemana-mana. Udara kotor yang telah dihisap setiap saat, sehingga paru-paru manusia penuh kotoran.
Kemudian diperhitungkan pula kerusakan yang terjadi di lautan. Air laut yang rusak karena air tangki yang besar membawa bahan bakar (minyak tanah ataupun bensin) pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabirk kimia yang mengalir melalui sungai menuju lautan, lama kelamaan kian banyak. Hingga air laut penuh racun yang mengakibatkan ikan-ikan mati.
Kerusakan lainnya yang dapat kita jumpai, di darat adalah pengrusakan terhadap tumbuh-tumbuhan. Banyak kita temukan tangan-tangan jahil yang tak bertanggungjawab menebangi pohon-pohon yang ada di hutan hanya untuk mendapatkan keunutngan sepihak, yakni untuk dirinya sendiri. Akibatnya hutan menjadi gundul dan bila hujan tiba, tanah tidak mampu menyerap air. Sehingga terjadi banjir yang berimbas pula pada orang lain. Selain itu, penebangan hutan akan merusak ekosistem yang ada di dalamnya. Hewan-hewan menjadi resah karena tidak ada pepohonan untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus sumber makanan bagi mereka.
Begitu juga pengrusakan-pengrusakan yang ada di laut. Contoh kongkret yang sering kita temui, di antaranya adalah pembuangan limbah-limbah perusahaan tanpa penyaringan terlebih dahulu. Selain itu, pengambilan ikan yang tidak memperhatikan etika yang baik. Banyak sekali manusia (nelayan) mengambil ikan dengan cara yang kasar sekali, yakni dengan menggunakan bom ikan. Hal ini akan berimbas pada pengrusakan ekosistem di dalam laut, yakni pengrusakan terumbu karang yang memperindah laut.
Sebenarnya telah banyak peringatan-peringatan untuk para perusak agar kembali kepada jalan yang benar. Namun sayangnya, para perusak sering mengabaikan peringatan tersebut karena lebih dikuasai oleh hawa nafsunya. Bahkan yang lebih parah, mereka telah menyadari akan perbuatannya dan bersikukuh bahwa dirinya adalah termasuk orang yang melakukan perbaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 11-12 :
وَ اِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوْا فِي الاَرْضِ قَالُوْا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحَوْنَ
الآ إِنّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَ لَكِنْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
Artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah berbuat kerusakan di bumi ! Mereka menjawab, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari."
Abul 'Aliah berkata : Barangsiapa mendurhakai Allah di muka bumi. Maka ia telah membuat kerusakan di muka bumi, karena perbaikan di langit dan di bumi adalah dengan ketaatan kepada Allah.
Dosa dan pelanggaran (fasad) yang dilakukan manusia, mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di laut. Sebaliknya, ketiadaan keseimbangan di darat dan di laut, mengakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin banyak dan beraneka ragam dosa manusia, semakin parah pula kerusakan lingkungan. Hakekat ini merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri, lebih-lebih dewasa ini. Memang Allah menciptakan semua makhluk saling berkaitan. Dalam keterkaitan itu, lahir keserasian dan keseimbangan dari yang terkecil hingga yang terbesar, dan semua tunduk dalam pengaturan Allah. Bila terjadi gangguan pada keharmonisan dan keseimbangan itu, maka kerusakan akan terjadi dan pasti berdampak pada seluruh bagian alam, termasuk manusia, baik yang merusak maupun yang merestui pengrusakan itu.
Untuk kembali menyadarkan mereka, Allah mencicipkan sedikit akibat dari perbuatan mereka. Seperti banjir, atau bahkan kekeringan yang berkepanjangan dan banyak lagi bencana-bencana alam yang ditimpakan kepada manusia yang merupakan sebagian akibat dari perbuatan pengrusakan yang telah mereka lakukan di muka bumi. Allah tidak memandang orang per-seorang, akan tetapi Ia mencicipkan musibah tersebut kepada orang di sekelilingnya (pelaku).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kerusakan yang terjadi dapat berdampak buruk. Tetapi, rahmat Allah masih menyentuh manusia, karena Dia baru mencicipkan bukan menimpakan kepada mereka (akibat kerusakan yang telah mereka perbuat). Di sisi lain, dampak tersebut baru akibat sebagian dosa mereka. Dosa yang lain boleh jadi diampuni Allah dan boleh juga ditangguhkan siksanya ke hari yang lain.  
Dan maksud dari ditimpakannya sebagian musibah kepada manusia adalah agar mereka sadar dan kembali. Sebagaimana termaktub dalam penghujung surat ini : "Mudah-mudahan mereka kembali". Arti kembali itu tentu sangat dalam. Bukan maksudnya mengembalikan jarum sejarah ke belakang. Melainkan kembali menilik diri dari mengoreksi niat, kembali memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Jangan hanya ingat akan keuntungan diri sendiri, lalu merugikan orang lain. Jangan hanya ingat laba yang sebentar dengan merugikan sesam. Tegasnya, kita harus meninggalkan kerusakan di muka bumi. Dengan ujung ayat "Mudah-mudahan", dinampakkan bahwa harapan belum putus.
Menurut Sayyid Quthb, penghujung ayat ini ditafsirkan dengan tekad manusia untuk melawan kejahatan dan kembali kepada Allah serta beramal saleh dan meniti manhaj yang lurus.
C.    Pelajaran yang Dapat Diambil
Dari penjelasan di atas, nyata sudah perbuatan-perbuatan manusia yang ditimbulkan oleh dorongan hawa nafsu, yang memikirkan keuntungan dirinya sendiri akan cenderung mengakibatkan pengrusakan-pengrusakan, baik yang terjadi darat maupun di laut. Penggundulan hutan, pengeboman ikan dan lain-lain akan berakibat rusaknya sistem keseimbangan dan keserasian alam.
Hal ini berdampak kerugian bagi manusia. Sebab, pada hakekatnya Allah menciptkan segala sesuatu di dunia ini, saling berkesinambungan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dan apabila keharmonisan/ keserasian ini mengalami ketidakstabilan, maka besar/ kecil hal ini akan berdampak pada seluruh penghuni bumi, termasuk manusia.
Oleh karena itu, Allah mencoba memperingatkan manusia dengan mencicipkan sebagian akibat dari pengrusakan tersebut. Hal ini ditujukan untuk menyadarkan manusia dari apa yang telah mereka perbuat. Setelah itu, manusia akan terketuk hatinya untuk meninggalkan pengrusakan-pengrusakan tersebut dan memperbaikinya dengan taat kepada Allah dan melakukan perbaikan-perbaikan kembali. Karena pada dasarnya kebaikan dapat menghapus kejelekan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَ اتَّبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَ خَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya : "Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan karena ia akan menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik."
Hemat kami, ayat ini merupakan teguran bagi para manusia yang suka berbuat kerusakan di bumi agar takut terhadap bencana-bencana yang diturunkan oleh Allah sebagai dampak dari perbuatannya, dan agar mereka segera meninggalkan perbuatan tersebut dan kembali melakukan perbaikan-perbaikan sebagai jalan kembali menuju manhaj yang lurus. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung. Amien …